Sabtu, 24 Agustus 2013

Santa Monika (Teladan Para Ibu)

Monika dilahirkan di kota Thagaste, Afrika Utara. Keluarga Monika termasuk golongan yang terkemuka, sebuah keluarga Kristen yang saleh dan taat beribadah. Monika diasuh oleh seorang pelayan perempuan yang lebih berpengaruh daripada ibunya sendiri. Dia dididik secara ketat dan keras, khususnya dalam hal makan dan minum.

Pada usia yang masih tergolong muda, Monika menikah dengan seorang bernama Patrisius. Patrisius adalah seorang yang kasar, mudah marah, tidak setia, peminum, dan mempunyai ekonomi yang tidak memadai. Ia juga seorang kafir yang tidak percaya kepada Tuhan. Menghadapi sifat suaminya yang jauh dari sempurna itu, Monika yang saleh berdoa dan memohon Tuhan memberikan rahmat pertobatan kepada Patrisius.

Kehidupan Monika dan suaminya jauh dari kebahagiaan. Terdapat perbedaan yang begitu jauh, Monika adalah seorang yang lemah lembut, sedangkan suaminya seorang yang kasar. Monika dengan penuh kesetiaan dan ketabahan menanggung semua beban itu. Monika membicarakan persoalan dengan suaminya ketika suaminya dalam keadaan tenang. Walaupun suaminya kasar tetapi Monika tidak pernah dipukul, maka contoh hidupnya menggerakkan hati banyak ibu di kota itu. Monika selalu mengatakan bahwa seorang suami yang sedang marah sebaiknya jangan dilawan, baik dengan kata-kata maupun perbuatan. Bila sudah tenang dan tidak marah lagi maka itulah waktu yang tepat untuk didekati dan diajak berbicara dengan baik-baik. Suami Monika adalah seorang yang mudah marah, tetapi Monika tidak pernah disiksa dan dipukul. Tak jarang dijumpai banyak ibu yang memiliki suami yang lembut dan ramah, namun kadang-kadang di wajahnya ada bekas pukulan. Monika menasihati para ibu agar mengingat selalu buku tentang perkawinan yang dulu pernah dibacakan, yaitu taat pada suami dan tidak bersikap angkuh. Banyak ibu yang menjalankan nasihat itu dan mereka berhasil. Monika juga seorang ibu yang menjadi penegak yang bijak dan pendamai dalam setiap perselisihan dengan orang lain. Berkat doa Monika yang tak kunjung putus itu, akhirnya Patrisius dibaptis sesaat sebelum ia meninggal pada tahun 370.

Perkawinan Monika dan Patrisius ini membuahkan tiga orang anak, yaitu Agustinus, Navigius, dan Perpetua. Agustinus lahir pada hari Minggu tanggal 13 November 354. Ia seorang anak yang nakal, suka berbohong, dan selalu mencari alasan untuk menghindar dari tugas belajarnya. Ia juga malas, suka mencuri, dan suka memukul. Akan tetapi, Agustinus adalah seorang anak yang pandai dan selalu berdoa. Monika banyak mendapat kesulitan dalam mendidik Agustinus, karena ia tidak mau diperintah. Namun, Monika mendidik anaknya dengan rasa keibuan dan kasih sayang. Monika adalah ibu yang senantiasa mengikuti perjalanan hidup anaknya dan tidak pernah meninggalkannya, walaupun sang anak pernah mengecewakannya. Contohnya, Agustinus yang menjauh dari Gereja. Di kemudian hari Agustinus sendiri mengatakan, “Karena kebaikan ibuku, aku bisa mendapatkan segala yang terbaik yang telah kuperoleh.” Monika dengan antusias mengajarkan dan menceritakan pada anak-anaknya tentang Allah, tentang Kristus.

Pada usia enam belas tahun Agustinus menghabiskan masa remajanya dengan berkeliaran bersama teman-temannya yang sedang dilanda perasaan jenuh dan bosan. Mereka sering melakukan kejahatan. Agustinus sendiri senang melakukan percabulan. Tidak ada yang mengingatkan Agustinus akan dosa. Bahkan, ayahnya sendiri bangga akan hal itu. Sebaliknya, Monika terus berdoa dan menasihatinya. Agustinus pernah menjalani kehidupan “kumpul kebo” bersama seorang wanita. Akibatnya, lahirlah seorang putra hasil hubungan mereka di tahun 372. Anak tersebut diberi nama Adeodatus.

Suatu ketika Agustinus membaca sebuah buku yang berjudul “Hortensius” dengan tujuan agar dia bisa pandai berbicara. Ternyata dia tersentuh bahwa bukan hawa nafsu yang dicari, tetapi kehidupan rohanilah yang memberikan ketenangan. Akan tetapi, Agustinus tidak puas dengan ajaran Kitab Suci, maka dia berkenalan dengan sebuah aliran, yaitu Manikheisme. Ulah Agustinus ini membuat Monika semakin sedih dan menangis tak hentinya sambil berdoa. Airmata Monika lebih deras daripada airmata seorang ibu yang melihat anaknya meninggal dunia.

Akhirnya Monika menghadap seorang uskup dan meminta supaya uskup itu berbicara kepada Agustinus untuk melepaskan dirinya dari aliran Manikheisme itu. Selama sembilan tahun Agustinus mengikuti aliran itu. Disertai deraian air mata, Monika terus-menerus berdoa dengan tekun dan setia untuk pertobatan anaknya. Selama mengikuti aliran itu Agustinus tidak mendapatkan kepuasan. Kemudian, dia berencana untuk ke Roma. Ibunya tidak mengijinkannya, namun Agustinus tetap pada keputusannya dan pergi ke Roma.



Sampailah Agustinus di Roma. Dia tidak betah dan tinggal selama setahun dengan penuh kekecewaan dan penderitaan. Dia merasa seperti orang asing. Suatu saat dia sakit parah dan hampir meninggal. Pada saat itu ada perubahan dalam hatinya. Perlahan-lahan dia mulai berpaling dari aliran itu. Dia menyadari bahwa ini berkat doa-doa ibunya yang setiap hari ke gereja dan dengan ratap tangis berdoa untuk keselamatannya. Akhirnya, Agustinus sembuh dari sakitnya dan dia mulai teringat akan ibunya.

Pada tahun 384 Agustinus pergi ke Milano. Jarak antara Roma dan Milano kira-kira 650 km. Di sana dia bertemu dengan Uskup Ambrosius, seorang ahli pidato yang terkenal. Agustinus disambut dengan baik dan penuh kebapakan. Dia menjadi rajin dan setia ke gereja untuk mendengarkan khotbah dari Uskup Ambrosius.

Tak lama kemudian Monika menyusuri jejak Agustinus hingga ke Milano. Ketika Agustinus bertemu dengan ibunya, dia menceritakan bahwa dia telah lepas dari aliran Manikheisme. Saat itu Agustinus berumur tiga puluh tahun. Monika berkata bahwa ia percaya demi Kristus bahwa sebelum ia mati ia melihat puteranya bertobat dan menjadi seorang Katolik. Itulah keyakinan dari Monika.

Pergulatan terjadi pada Agustinus setelah dia bertemu dengan Uskup Ambrosius. Uskup Ambrosius mengatakan bahwa jalan keselamatan manusia terdapat dalam Tuhan Yesus Kristus dan dalam Kitab suci. Kata-kata inilah yang mengusik hatinya dan melegakannya. Akhirnya, Agustinus sadar, walau dalam kegelisahan bahwa dia merindukan keselamatan itu. Agustinus membaca di dalam Gal. 5:17 (juga dalam Rm. 7:19) bahwa “Keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging karena keduanya bertentangan.” Dia juga tercengang dan kagum dengan kisah tentang Antonius Pertapa.

Akhirnya, seiring dengan berjalannya waktu Monika menyertai pembaptisan Agustinus dan Adeodatus. Agustinus dibaptis oleh Uskup Ambrosius. Waktu itu hari Minggu Paskah tanggal 25 April tahun 387. Monika meneteskan airmata kebahagiaan karena menyaksikan kelahiran baru anaknya. Setelah itu mereka kembali ke Afrika.

Pada suatu ketika, Agustinus dan Monika bersandar pada sebuah jendela di kediaman mereka di Ostia. Mereka tenggelam dalam pembicaraan tentang hal-hal rohani. Begitu asyiknya hingga keduanya mengalami ekstase. Rupanya Monika tahu bahwa ajalnya kian mendekat, dan dia telah menyelesaikan pekerjaan yang Allah berikan kepadanya, yaitu memertobatkan Agustinus. Pada usia 56 tahun Monika meninggal dunia karena serangan demam yang hebat. Hati Agustinus sedih luar biasa. Dalam kesendiriannya Agustinus mengenang kembali kebaikan dan kesetiaan ibunya yang sangat suci. Ia menangis sepuas-puasnya.

Sungguh teladan hidup St. Monika menyatakan bahwa doa dan tangisan yang tak kunjung putus akan didengarkan oleh Tuhan. Ia menjadi teladan istimewa para ibu dalam membesarkan anak-anaknya, juga bagi para janda yang menjalani masa-masa ditinggal pergi sang suami. Pada setiap tanggal 27 Agustus, Gereja menghormati Santa Monika secara istimewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar