Monika dilahirkan di kota Thagaste, Afrika Utara. Keluarga Monika
termasuk golongan yang terkemuka, sebuah keluarga Kristen yang saleh dan
taat beribadah. Monika diasuh oleh seorang pelayan perempuan yang lebih
berpengaruh daripada ibunya sendiri. Dia dididik secara ketat dan
keras, khususnya dalam hal makan dan minum.
Pada usia yang masih tergolong muda, Monika menikah dengan seorang
bernama Patrisius. Patrisius adalah seorang yang kasar, mudah marah,
tidak setia, peminum, dan mempunyai ekonomi yang tidak memadai. Ia juga
seorang kafir yang tidak percaya kepada Tuhan. Menghadapi sifat suaminya
yang jauh dari sempurna itu, Monika yang saleh berdoa dan memohon Tuhan
memberikan rahmat pertobatan kepada Patrisius.
Kehidupan Monika dan suaminya jauh dari kebahagiaan. Terdapat perbedaan
yang begitu jauh, Monika adalah seorang yang lemah lembut, sedangkan
suaminya seorang yang kasar. Monika dengan penuh kesetiaan dan ketabahan
menanggung semua beban itu. Monika membicarakan persoalan dengan
suaminya ketika suaminya dalam keadaan tenang. Walaupun suaminya kasar
tetapi Monika tidak pernah dipukul, maka contoh hidupnya menggerakkan
hati banyak ibu di kota itu. Monika selalu mengatakan bahwa seorang
suami yang sedang marah sebaiknya jangan dilawan, baik dengan kata-kata
maupun perbuatan. Bila sudah tenang dan tidak marah lagi maka itulah
waktu yang tepat untuk didekati dan diajak berbicara dengan baik-baik.
Suami Monika adalah seorang yang mudah marah, tetapi Monika tidak pernah
disiksa dan dipukul. Tak jarang dijumpai banyak ibu yang memiliki suami
yang lembut dan ramah, namun kadang-kadang di wajahnya ada bekas
pukulan. Monika menasihati para ibu agar mengingat selalu buku tentang
perkawinan yang dulu pernah dibacakan, yaitu taat pada suami dan tidak
bersikap angkuh. Banyak ibu yang menjalankan nasihat itu dan mereka
berhasil. Monika juga seorang ibu yang menjadi penegak yang bijak dan
pendamai dalam setiap perselisihan dengan orang lain. Berkat doa Monika
yang tak kunjung putus itu, akhirnya Patrisius dibaptis sesaat sebelum
ia meninggal pada tahun 370.
Perkawinan Monika dan Patrisius ini membuahkan tiga orang anak, yaitu
Agustinus, Navigius, dan Perpetua. Agustinus lahir pada hari Minggu
tanggal 13 November 354. Ia seorang anak yang nakal, suka berbohong, dan
selalu mencari alasan untuk menghindar dari tugas belajarnya. Ia juga
malas, suka mencuri, dan suka memukul. Akan tetapi, Agustinus adalah
seorang anak yang pandai dan selalu berdoa. Monika banyak mendapat
kesulitan dalam mendidik Agustinus, karena ia tidak mau diperintah.
Namun, Monika mendidik anaknya dengan rasa keibuan dan kasih sayang.
Monika adalah ibu yang senantiasa mengikuti perjalanan hidup anaknya dan
tidak pernah meninggalkannya, walaupun sang anak pernah
mengecewakannya. Contohnya, Agustinus yang menjauh dari Gereja. Di
kemudian hari Agustinus sendiri mengatakan, “Karena kebaikan ibuku, aku
bisa mendapatkan segala yang terbaik yang telah kuperoleh.” Monika
dengan antusias mengajarkan dan menceritakan pada anak-anaknya tentang
Allah, tentang Kristus.
Pada usia enam belas tahun Agustinus menghabiskan masa remajanya dengan
berkeliaran bersama teman-temannya yang sedang dilanda perasaan jenuh
dan bosan. Mereka sering melakukan kejahatan. Agustinus sendiri senang
melakukan percabulan. Tidak ada yang mengingatkan Agustinus akan dosa.
Bahkan, ayahnya sendiri bangga akan hal itu. Sebaliknya, Monika terus
berdoa dan menasihatinya. Agustinus pernah menjalani kehidupan “kumpul
kebo” bersama seorang wanita. Akibatnya, lahirlah seorang putra hasil
hubungan mereka di tahun 372. Anak tersebut diberi nama Adeodatus.
Suatu ketika Agustinus membaca sebuah buku yang berjudul “Hortensius”
dengan tujuan agar dia bisa pandai berbicara. Ternyata dia tersentuh
bahwa bukan hawa nafsu yang dicari, tetapi kehidupan rohanilah yang
memberikan ketenangan. Akan tetapi, Agustinus tidak puas dengan ajaran
Kitab Suci, maka dia berkenalan dengan sebuah aliran, yaitu Manikheisme.
Ulah Agustinus ini membuat Monika semakin sedih dan menangis tak
hentinya sambil berdoa. Airmata Monika lebih deras daripada airmata
seorang ibu yang melihat anaknya meninggal dunia.
Akhirnya Monika menghadap seorang uskup dan meminta supaya uskup itu
berbicara kepada Agustinus untuk melepaskan dirinya dari aliran
Manikheisme itu. Selama sembilan tahun Agustinus mengikuti aliran itu.
Disertai deraian air mata, Monika terus-menerus berdoa dengan tekun dan
setia untuk pertobatan anaknya. Selama mengikuti aliran itu Agustinus
tidak mendapatkan kepuasan. Kemudian, dia berencana untuk ke Roma.
Ibunya tidak mengijinkannya, namun Agustinus tetap pada keputusannya dan
pergi ke Roma.
Sampailah Agustinus di Roma. Dia tidak betah dan tinggal selama setahun
dengan penuh kekecewaan dan penderitaan. Dia merasa seperti orang asing.
Suatu saat dia sakit parah dan hampir meninggal. Pada saat itu ada
perubahan dalam hatinya. Perlahan-lahan dia mulai berpaling dari aliran
itu. Dia menyadari bahwa ini berkat doa-doa ibunya yang setiap hari ke
gereja dan dengan ratap tangis berdoa untuk keselamatannya. Akhirnya,
Agustinus sembuh dari sakitnya dan dia mulai teringat akan ibunya.
Pada tahun 384 Agustinus pergi ke Milano. Jarak antara Roma dan Milano
kira-kira 650 km. Di sana dia bertemu dengan Uskup Ambrosius, seorang
ahli pidato yang terkenal. Agustinus disambut dengan baik dan penuh
kebapakan. Dia menjadi rajin dan setia ke gereja untuk mendengarkan
khotbah dari Uskup Ambrosius.
Tak lama kemudian Monika menyusuri jejak Agustinus hingga ke Milano.
Ketika Agustinus bertemu dengan ibunya, dia menceritakan bahwa dia telah
lepas dari aliran Manikheisme. Saat itu Agustinus berumur tiga puluh
tahun. Monika berkata bahwa ia percaya demi Kristus bahwa sebelum ia
mati ia melihat puteranya bertobat dan menjadi seorang Katolik. Itulah
keyakinan dari Monika.
Pergulatan terjadi pada Agustinus setelah dia bertemu dengan Uskup
Ambrosius. Uskup Ambrosius mengatakan bahwa jalan keselamatan manusia
terdapat dalam Tuhan Yesus Kristus dan dalam Kitab suci. Kata-kata
inilah yang mengusik hatinya dan melegakannya. Akhirnya, Agustinus
sadar, walau dalam kegelisahan bahwa dia merindukan keselamatan itu.
Agustinus membaca di dalam Gal. 5:17 (juga dalam Rm. 7:19) bahwa
“Keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh
berlawanan dengan keinginan daging karena keduanya bertentangan.” Dia
juga tercengang dan kagum dengan kisah tentang Antonius Pertapa.
Akhirnya, seiring dengan berjalannya waktu Monika menyertai pembaptisan
Agustinus dan Adeodatus. Agustinus dibaptis oleh Uskup Ambrosius. Waktu
itu hari Minggu Paskah tanggal 25 April tahun 387. Monika meneteskan
airmata kebahagiaan karena menyaksikan kelahiran baru anaknya. Setelah
itu mereka kembali ke Afrika.
Pada suatu ketika, Agustinus dan Monika bersandar pada sebuah jendela di
kediaman mereka di Ostia. Mereka tenggelam dalam pembicaraan tentang
hal-hal rohani. Begitu asyiknya hingga keduanya mengalami ekstase.
Rupanya Monika tahu bahwa ajalnya kian mendekat, dan dia telah
menyelesaikan pekerjaan yang Allah berikan kepadanya, yaitu
memertobatkan Agustinus. Pada usia 56 tahun Monika meninggal dunia
karena serangan demam yang hebat. Hati Agustinus sedih luar biasa. Dalam
kesendiriannya Agustinus mengenang kembali kebaikan dan kesetiaan
ibunya yang sangat suci. Ia menangis sepuas-puasnya.
Sungguh teladan hidup St. Monika menyatakan bahwa doa dan tangisan yang
tak kunjung putus akan didengarkan oleh Tuhan. Ia menjadi teladan
istimewa para ibu dalam membesarkan anak-anaknya, juga bagi para janda
yang menjalani masa-masa ditinggal pergi sang suami. Pada setiap tanggal
27 Agustus, Gereja menghormati Santa Monika secara istimewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar